Thursday, December 4, 2014

Kualitas Jasa Pelayanan Publik



Pengertian
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Pelayanan dan jasa publik bahkan dimulai sejak seseorang dalam kandungan ketika diperiksa oleh dokter pemerintah atau dokter yang dididik di universitas negeri, mengurus akta kelahiran, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi pemerintah, memperoleh macam-macam perijinan yang berkaitan dengan dunia usaha yang digelutinya hingga seseorang meninggal dan memerlukan surat pengantar dan surat kematian untuk mendapatkan kapling di tempat pemakaman umum (TPU).

Luasnya ruang lingkup pelayanan dan jasa publik cenderung sangat tergantung kepada ideologi dan sistem ekonomi suatu negara. Negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara sosialis cenderung memiliki ruang lingkup pelayanan lebih luas dibandingkan negara-negara kapitalis. Tetapi luasnya cakupan pelayanan dan jasa-jasa publik tidak identik dengan kualitas pelayanan itu sendiri. Karena pelayanan dan jasa publik merupakan suatu cara pengalokasian sumber daya melalui mekanisme politik, bukannya lewat pasar, maka kualitas pelayanan itu sangat tergantung kepada kualitas demokrasi. Konsekuensi dari hal ini adalah negara-negara yang pilar-pilar demokrasinya tidak bekerja secara optimal tidak memungkinkan pencapaian kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, pelayanan publik tanpa proses politik yang demokratis cenderung membuka ruang bagi praktek-praktek korupsi.
Sebagai bagian dari sistem kenegaraan dengan konstitusi yang pekat dengan norma keadilan, ekonomi Indonesia dicirikan oleh ruang lingkup pelayanan publik yang sangat luas. Sayangnya, pelayanan publik yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka serta proses politik yang demokratis. Karena itu tidak mengherankan jika pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang berkaitan dengan pengadaan produk-produk pelayanan publik yang bersifat kewajiban seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat Izin Mengemudi (SIM), Pasport, dan lain-lain.
Kendati mungkin fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis-jenis produk tadi hanya melibatkan biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola korupsi dengan menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki dampak yang sangat luas.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut? Teramat sulit tentunya menjawab pertanyaan ini, kendati jawabannya merupakan bagian terpenting dari strategi pemberantasan korupsi di sektor publik. Karena itu kajian mengenai mekanisme pelayanan publik, berikut biaya-biaya transaksinya menjadi elemen penting dari strategi pemberantasan korupsi.
Sejalan dengan itu, prinsip market oriented organisasi pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (aparatur) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip catalitic government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah perlu memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (helping people to help themselves). Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan prinsip self-help atau steering rather than rowing.
Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di daerah. Artinya, pembentukan organisasi ini secara empirik telah memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum minimal secara kuantitatif. Dalam konteks teori Reinventing Government, pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) ini telah menghayati makna community owned, mission driven, result oriented, costumer oriented, serta anticipatory government.
Oleh karena itu, inovasi pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam praktek manajemen pemerintahan di daerah. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan tidak mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.
Selain itu, fenomena di atas juga menunjukkan bahwa masyarakat yang belum terlayani masih lebih besar dibandingkan masyarakat yang sudah terlayani. Kenyataan tersebut disebabkan selain karena faktor geografis juga oleh lemahnya pelayanan oleh petugas baik secara administratif maupun teknis. Untuk itu Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai organisasi pelaksana harus meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, karena pada hakikatnya kualitas ditentukan hanya oleh pelanggan (Coupet dalam Osborne dan Gaebler, 1992).
Kenyataan tersebut tidak saja disebabkan oleh berbagai hambatan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan masih ada hal lain yang menjadi penyebabnya, seperti dalam memberikan pelayanan publik tidak diikuti oleh peningkatan kualitas birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kita semua menyadari pelayanan publik selama ini bagaikan rimba raya bagi banyak orang. Amat sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan. Harga bisa berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh para pengguna jasa. Baik harga ataupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau oleh masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian enggan berurusan dengan birokrasi publik.
Dari uraian diatas telah disebutkan bahwa keberadaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan publik. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa selain pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), fungsi Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sesungguhnya tidak lebih sebagai front liner dalam penyelenggaraan pelayanan tertentu. Artinya, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) memfungsikan dirinya sebagai ‘loket’ penerima permohonan yang akan dilanjutkan prosesnya kepada Dinas/Instansi fungsionalnya masing-masing. Dalam kondisi demikian, maka pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) justru dapat dipersepsikan sebagai ‘penambahan rantai birokrasi’ dalam pelayanan kepada masyarakat.
Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau Unit Pelayanan Terpadu (UPT) harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik pula.
 Contoh Studi Kasus : Kualitas Pelayanan Publik Kabupaten Jember
Pada dasarnya penelitian tentang kualitas pelayanan publik ini penting untuk dilakukan, dikarenakan masyarakat sebagai customer service belum merasa puas baik dari segi waktu, biaya dan mutu pelayanan yang selama ini diberikan. Untuk itu penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama yang dilaksanakan di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember.
Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember ini termasuk masih berusia muda juga, sampai saat ini pelaksanaannya masih berjalan kurang lebih 4 (empat) tahun, awal pendiriannya pada tahun 1998 yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Jember nomor 58 tahun 1998 tentang Pelaksanaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) di Kabupaten Jember.
Namun, dalam perjalanannya masih banyak dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Telah banyak cerita atau pengalaman dari sebagian atau bahkan hampir semua masyarakat sebagai pengguna dari pelayanan publik yang mengeluhkan terhadap pelayanan yang telah diberikan oleh Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember tersebut. Melalui studi awal (Desember 2001) yang telah dilakukan, berikut ini disajikan fenomenanya yang diperoleh melalui kumpulan kliping surat kabar tentang pelayanan melalui Bagian Humas Pemda Kabupaten Jember.
·           Saya dan keluarga bingung, stress dan luar biasa cemasnya. Sudah beberapa malam sulit tidur...entah apa yang akan terjadi di kemudian hari. Sudah setahun lebih bermukim di kota ini, kami belum mempunyai identitas penduduk sama sekali. Padahal telah lama kami megajukan permohonan pengurusan identitas penduduk, nyatanya sampai saat ini keinginan kami itu belum terwujud. Waktu dan dana yang tidak sedikit jumlahnya telah dikeluarkan dan hingga kini kami menemui banyak kesulitan dalam pengurusan segala sesuatu yang membutuhkan identitas penduduk (Lentera, Oktober 2000).
·           Saya mengurus IMB lewat kenalan saya yang bekerja di Dinas Tata Kota, nyatanya sampai bertahun-tahun belum selesai-selesai juga. Kalau saya tanya, bagaimana caranya supaya IMB cepat selesai? Jawabnya, kalau orang Tata Kota masih diam, berarti belum selesai, ya kita diamkan saja...ditunggu saja (Lentera, Maret 2001).
·           Saya dan keluarga berencana akan mendirikan usaha kecil-kecilan di jaman yang semakin susah ini, sekalian untuk tambahan penghasilan. Sudah saya urus perijinanya dan untuk tempat usahanya. Tetapi, nyatanya hingga sekarang surat ijin tersebut belum selesai-selesai juga (Lentera, Agustus 2001).
·           Saya paling malas kalau harus mengurus surat-surat atau apapun yang ada hubungannya dengan Pemda. Pasti ujung-ujungnya sudah lama ngurusnya, birokrasinya berbelit-belit, keluar uang banyak lagi. Disuruh ngurus inilah...kurang itulah...apalah. Pusing!! (Lentera, Desember 2001).
Fenomena diatas menggambarkan betapa buruknya kualitas pelayanan publik yang selama ini dinikmati oleh masyarakat. Sudah sejak lama masyarakat mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dirasakannya amat jauh dari harapannya. Tetapi sejauh ini ternyata tidak ada perbaikan yang berarti dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik ternyata makin jauh dari kenyataan.
Data lain tentang kualitas pelayanan publik yang telah diberikan tercermin dalam laporan banyaknya keluhan masyarakat yang disampaikan melalui surat kabar maupun media elektronik seperti radio. Adapun datanya sebagai berikut :
Tabel 1
Jenis dan Frekuensi Keluhan Masyarakat
Desember 2001
Masalah/Keluhan Masyarakat
Frekuensi
1.      Biaya mahal
2.      Waktu pengerjaan lama
3.      Terlalu berbelit-belit
4.      Selalu ada kesalahan
5.      Aparat tidak ramah
6.      Ruangan kotor
11
23
9
6
14
8
Sumber : Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember
Dari data pada tabel 1 tersebut, masih terdapat adanya keluhan atau ketidakpuasan masyarakat akan hasil pelayanan, jelas terlihat bahwa keluhan masyarakat akan menunjukkan kualitas pelayanan yang diberikan. Sebab, inti dari pelayanan publik mempunyai tujuan akhir yang bermuara kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan yang diterima masyarakat.
Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik pula.
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat. Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan.
Pemerintah mengandung arti suatu kelembagaan atau organisasi yang menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan adalah proses berlangsungnya kegiatan atau perbuatan pemerintah dalam mengatur kekuasaan suatu negara. Penguasa dalam hal ini pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan penyelenggaraan kepentingan umum, yang dijalankan oleh penguasa administrasi negara yang harus mempunyai wewenang.
Seiring dengan perkembangan, fungsi pemerintahan ikut berkembang, dahulu fungsi pemerintah hanya membuat dan mempertahankan hukum, akan tetapi pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi berfungsi juga untuk merealisasikan kehendak negara dan menyelenggarakan kepentingan umum (public sevice). Perubahan paradigma pemerintahan dari penguasa menjadi pelayanan, pada dasarnya pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah itu masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta.
Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan identitas penduduk seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit.
Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik, pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan publik dengan baik pula, sebaliknya pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak dapat terselenggara dengan baik. Dalam hal ini juga pemerintah diperbolehkan untuk melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat dengan konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat) melalui instrumen hukum yang mendukungnya, hal ini boleh dilakukan agar dapat terlaksananya pelayanan publik dengan baik serta terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai konsumen dalam pelayanan publik welvaartstaat ini sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara dalam pelayanan publik.
Sebelum lahirnya walvarestaat ada yang disebut atau dikenal dengan nachtwachkerstaat (negara penjaga malam), dalam tipe negara ini, negara tidak dibenarkan untuk campur tangan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat. Dikatakan sebagai nachtwachkerstaat karena negara bertindak hanya sebagai penjaga malam saja, artinya negara hanya menjaga keamanan semata-mata, negara baru bertindak apabila keamanan dan ketertiban terganggu. Dalam hal ini negara tidak mencampuri segi-segi kehidupan masyarakat, baik dalam segi ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya, sebab dengan turut campurnya negara kedalam segi-segi kehidupan masyarakat dapat mengakibatkan kurangnya kemerdekaan individu. Akan tetapi dikarenakan oleh tuntutan masyarakat menghendaki faham ini tidak dipertahankan lagi, sehingga negara terpaksa turut campur tangan dalam urusan kepentingan rakyat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rule government menjadi good governance, dalam paradigma dari rule government penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik senantiasa menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan semua institusi governance memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini merupakan landasan legitimasi dalam sistem demokrasi, good governance memiliki kerangka pemikiran yang sejalan dengan demokrasi dimana pemerintahan dijalankan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good governance.
Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme menyebutkan asas-asas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Transparan, Daya Tanggap, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung Jawab, Akuntabilitas dan Tidak Menyalahgunakan Kewenangan.
Asas ini dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, disamping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan. Meskipun merupakan asas, tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang serta mempunyai sanksi tertentu.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas ini merupakan jembatan antara norma hukum dan norma etika yang merupakan norma tidak tertulis, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan suatu bagian yang pokok bagi pelaksanaan atau realisasi Hukum Tata Pemerintahan atau Administrasi Negara dan merupakan suatu bagian yang penting sekali bagi perwujudan pemerintahan negara dalam arti luas. Asas ini digunakan oleh para aparatur penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menentukan perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan pada khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini diterapkan secara tidak langsung sebagai salah satu dasar penilaian.
Asas ini merupakan kaidah hukum tidak tertulis sebagai pencerminan norma-norma etis berpemerintahan yang wajib diperhatikan dan dipatuhi, disamping mendasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa asas diantaranya dapat disisipkan dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam hal mengadili perkara gugatan terhadap pemerintah mengenai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Asas ini juga dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaran pemerintahan itu menjadi lebih baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi pelayanan publik, pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan publik dibatasi pada pengertian pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.
Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan kalau World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberi perlindungan bagi warga negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah. Secara konstitusional, juga merupakan kewajiban negara melayani warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik

Kualitas Pelayanan Publik


Mendefinisikan kualilas jasa tidak semudah memahami kualitas produk atau barang. Kualilas produk atau barang dapat terlihat langsung atau dapat dibedakan antara produk satu dengan produk lainnya melalui penempilan fisik atau spesifikasi bahan pembentuknya. Berbeda dengan jasa atau pelayanan yang tidak memiliki bentuk, jasa baru dapat dirasakan setelah dikonsumsi.
Gronroos (dalam Tjiptono 2000:60) mengatakan ada 3 komponen utama penentu kualitas jasa, yaitu: Technical Quality, yaitu kualitas yang berkaitan dengan kualitas output jasa yang dikonsumsi pelanggan. Technical quality meliputi: search quality, experience quality  dan credence quality; Functional Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas penyampaian jasa; Corporate Image, yaitu profil, reputasi, citra umum, dan daya tarik suatu organisasi.

Lebih lanjut menurut Parasuraman (dalam Tjiptono 2000:60) mengatakan ada dua faktor utama yang,mempengaruhi kualitas jasa, yaitu jasa yang diharapkan (Expected Service) dan jasa yang dipersepsikan (Perceived Service). Pengendalian diantara dua hal tersebut untuk menciptakan keunggulan pelayanan. Jasa dipersepsikan baik apabila jasa yang dikonsumsi sesuai dengan yang diharapkan. Jasa dipersepsikan ideal apabila jasa yang di konsumsi melebihi dari apa yang diharapkan. Sedangkan jasa dipersepsikan buruk apabila jasa yang di konsumsi kurang dari yang diharapkan.

Berdasarkan karakteristik diatas dapat dipahami bahwa jasa atau pelayanan sangat terkait dengan partisipasi pelanggan. Kebutuhan dan keinginan pelanggan sebagai penentu kualitas pelayanan jasa. Definisi  kualitas jasa berfokus pada suatu upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian layanan untuk mengimbangi harapan pelanggan. Sehingga kualitas jasa dapat diartikan sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Wickot ( dalam Tjiptono 2000 : 59 ).

Produk pelayanan di dalam sektor publik, pada dasarnya adalah  tanggung jawab unit kerja publik (pemerintah, eksekutif, policy implementor) untuk menyediakan atau memenuhi. Dasar pelayanannya adalah kebijakan publik, sebagaimana ditegaskan oleh Balk dalam (Kasim 1993:22) yang mengatakan bahwa produktivitas dalam organisasi pemerintah juga harus diukur dari segi kualitas hasil yang dipersembahkannya kepada masyarakat, yaitu sampai seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan.

Bertolak dari pengertian bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian layanan untuk mengimbangi harapan pelanggan, maka sangat diperlukan suatu alat ukur dalam upaya untuk mengimbangi kesenjangan antara pelayanan yang disediakan dengan pelayanan yang diinginkan.

Pendekatan yang digunakan untuk menilai kualitas jasa adalah sebagai berikut: kualitas tehnik (outcome) yaitu kualitas hasil kerja penyampaian jasa itu sendiri, dan kualitas pelayanan (proses) yaitu kualitas cara penyampaian jasa tersebut.  Di dalam suatu perencanaan jasa diperlukan suatu dimensi kualitas jasa. Dimensi menentukan besamya dan luasnya pelayanan yang disediakan. Analisis dimensi kualitas jasa yang disediakan sangat penting dalam perencanaan. Dimensi juga sering digunakan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi pelayan yang disediakan.

Menurut Zeithaml, Berry, Parasuraman, (1994), (dalam Tjiptono, 2000: 70) ada lima dimensi pokok yang menentukan kualitas jasa, yaitu Tangible, Reliable, Responsiveness,  assurance, Empathi. Berikut ini penjelasan dari masing dimensi:
  1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. ini meliputi fasilitas fisik (Gedung, Gudang, dan lainnya), teknologi (peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan), serta penampilan pegawainya.
  2. Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Harus sesuai dengan harapan pelanggan berarti kinerja yang tepat waktu, pelayanan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan dengan akurasi tinggi.
  3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.
  4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopan santunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari komponen: komunikasi (Communication), kredibilitas (Credibility), keamanan (Security), kompetensi (Competence), dan sopan santun (Courtesy).
  5. Empathy, atau empati yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
 Menurut Zeithaml, Parasuraman & Berry,  (1988:28), Reliability secara konsisten merupakan dimensi paling kritis, kemudian tingkat ke-2 assurance, ke-3 oleh tangibles ke-4 oleh responsiveness, dan kadar kepentingan yang paling rendah adalah empathy.

Jadi pelayanan publik yang berkualitas juga dapat dilihat dari seberapa besar dimensi kualitas  pelayanan, seperti reliability, responsivity, assurance, tangibility dan emphaty dapat diwujudkan oleh organisasi pelayanan.  Penyelenggaraan  pelayanan publik, dengan demikian, berupaya untuk mendekatkan jarak yang ada antara organisasi pemerintah dengan harapan dan keinginan masyarakat.

Memperbaiki Kualitas Pelayanan Publik Di Indonesia

 
               Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama dari pemerintah atas jaminan (assurance) sosial ekonomi, jaminan keamanan yang memadai dan penegakan hukum yang berpijak pada keadilan sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah mereka penuhi. Pemerintah diharapkan bisa mendorong organisasi-organisasi penyedia layanan publik, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik, telepon, PDAM dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara layak. Pelayanan publik sebagaimana SK Men-PAN Nomor 81/1993 adalah segala bentuk kegiatan pelayanan publik (umum) yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kualitas pelayanan publik ini harus selalu dimonitor dari waktu ke waktu agar tercipta perbaikan secara terus menerus. Di satu sisi, informasi tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat harus selalu digali agar mengurangi gap (kesenjangan) antara harapan masyarakat dengan praktek penyelenggaraan layanan publik yang ada.  Masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan prioritas kebutuhannya dan mengembangkan kapabilitasnya sehingga mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi.

Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah pada satu bidang tertentu bisa berimbas pada bidang yang lain. Pada saat pemerintah menaikkan harga BBM maka akan selalu diikuti kenaikan harga pada bidang lain misalnya jasa transportasi. Demikian juga jika tarip listrik dinaikkan maka secara tidak langsung juga mempengaruhi tarip di bidang lainnya misalnya di bidang pendidikan dan kesehatan, yang harus ditanggung masyarakat. Bahkan akibat struktur biaya yang berubah ini, kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok pun tidak bisa dihindarkan. Jika memang kenaikan harga-harga tersebut sifatnya tidak bisa dihindari (unavoidable) maka semestinya diimbangi pula dengan peningkatan manfaat langsung atas layanan organisasi publik. Peningkatan kualitas pelayanan publik dengan mengoptimalkan output bagi kemanfaatan masyarakat seharusnya juga tidak bisa dihindari guna membantu meringankan beban masyarakat.
            
               Pemerintah mempunyai peran besar dalam pembuatan program pelayanan dan kebijakan publik. Berbagai regulasi dan peraturan yang menyangkut organisasi layanan publik sudah barang tentu mesti dirumuskan dengan mempertimbangkan kebutuhan publik. Tanggung jawab pemerintah tidak sekedar membuat dan menjalankan program yang bernilai ekonomi tetapi yang lebih penting justru identifikasi apakah program dan kebijakan tersebut sudah sesuai dengan keinginan publik dan tidak malah membatasi ruang gerak masyarakat untuk bisa berkreasi secara produktif. Tingkat kehidupan masyarakat secara individual diharapkan bisa bertambah baik dan maju atas kebijakan pemerintah yang ditetapkan.

Beberapa negara telah berusaha memperbaiki kualitas pelayanan publik ini dalam rangka melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintahan di Inggris tahun 1998 berupaya  merumuskan Public Service Agreements sebagai bentuk kesepakatan baru peningkatan pelayanan publik. Kesepakatan pelayanan publik ini dimaksudkan untuk menghimpun berbagai perbaikan khusus dalam pelayanan sebagaimana diharapkan masyarakat. Sementara di Australia, upaya memperbaiki kualitas pelayanan publik ini dilakukan dengan monitoring kinerja semua organisasi penyedia layanan publik secara berkelanjutan oleh Komisi Industri (The Industry Commission) yang ditugaskan khusus Pemerintah. Jadi, pemerintah mempunyai peranan cukup besar untuk untuk mewujudkan tercapainya perbaikan kualitas layanan publik dengan efektif.
           
            Upaya memperbaiki kinerja organisasi layanan publik ini dilakukan secara terus menerus sehingga bisa dilihat kemanfaatannya bagi masyarakat. Dengan demikian, para klien dan pengguna jasa organisasi publik tersebut dapat menerima layanan sesuai dengan kebutuhannya, lebih relevan dan efektif. Selain itu, para wajib pajak menerima imbal balik yang sepadan dan efektif oleh karena mereka dapat menikmati pelayanan dari lembaga layanan publik dengan memuaskan.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen kualitas jasa (service quality management), yakni upaya meminimasi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan yang disediakan organisasi dengan harapan dan keinginan customer (masyarakat pengguna). Dalam rangka memperbaiki kualitas layanan ini, manajemen harus mampu menerapkan teknik-teknik manajemen yang berorientasi pada kebutuhan customer. Pengukuran kinerja secara periodik sangat perlu dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat kesenjangan yang terjadi.

Kinerja merupakan konsep yang multi dimensional dan banyak dipengaruhi berbagai macam faktor. Ukuran kinerja yang layak bagi organisasi layanan publik ini tidak sekedar bersifat finansial (input). Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya karena outcome (hasil) inilah variabel kinerja yang paling mewakili derivasi (penurunan) dari misi organisasi sampai pada aktivitas operasional. Outcome dapat digunakan untuk menilai aspek finansial dan non finansial sekaligus. Tujuan strategis organisasi, kepuasan pelanggan dan kontribusi ekonomi secara bersama-sama dapat diukur ketercapainnya dengan mengidentifikasi outcome-nya. Keberhasilan sebuah rumah sakit bukan dilihat dari fasilitasnya (output) tetapi dari kemanfaatan langsung atas keberadaan fasilitas tersebut bagi masyarakat (outcome). Keberhasilan pembangunan gedung sekolah dasar bukan dilihat dari banyaknya bangunan SD (yang dikenal dengan SD Inpres) di berbagai wilayah pedesann (output) sebagaimana ditetapkan dalam program pembangunan, namun dari seberapa besar nilai strategis gedung tersebut bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Selanjutnya, monitoring kinerja perlu dilakukan sebagai alat untuk mengevaluasi apakah pelayanan publik dan program-program organisasi penyedia layanan publik ini sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Monitoring kinerja dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi apakah tingkat kualitas pelayanan publik sudah lebih baik daripada sebelumnya. Dengan dilakukan monitoring kinerja secara berkelanjutan, sebenarnya akan membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi layanan publik itu sendiri. Beberapa langkah penting monitoring kinerja organisasi layanan publik antara lain: (1) Mengembangkan indikator kinerja yang menggambarkan pencapaian tujuan organisasi sehingga ada kejelasan tentang apa sebenarnya yang hendak dicapai organisasi dan bagaimana cara mengukur pencapaian tujuan organisasi tersebut. (2) Memaparkan hasil pencapaian terhadap tujuan dan program berdasarkan indikator kinerja di atas. (3) Berdasarkan paparan hasil penilaian pencapaian tujuan dan program di atas dapat diindentifikasi apakah organisasi sudah melakukan kegiatan secara efektif dan efisien sebagai dasar untuk perbaikan kualitas pelayanan kepada masyarakat umum.

Pertanyaan mendasar dalam proses monitoring ini adalah bagaimana sumber daya digunakan dan apakah tindakan yang diperlukan untuk menjamin tercapainya pengelolaan sumber daya secara ekonomi, efisien dan efektif sudah dilakukan?. Jika organisasi layanan publik ini adalah rumah sakit, maka monitoring kinerja berarti menjawab pertanyaan tentang apakah rumah sakit tersebut sudah mengelola sumber daya secara optimal dan menyediakan layanan terbaik untuk kepuasan para pengguna atau masyarakat. Adanya perbaikan kualitas pelayanan dapat diidentifikasi dari menurunnya tingkat komplain dari pasien atau pengguna, kepuasan pasien, meningkatnya jumlah pasien dan meningkatnya kepercayaan masyarakat umum.

Organisasi layanan publik seperti rumah sakit ini harus berorientasi pada outcome dan bukan sekedar input dan output. Jadi, indikator kinerja atas kualitas pelayanan sebuah rumah sakit bukan sekedar jumlah dokter per pasien, jumlah kamar untuk setiap kelas atau jumlah pengeluaran yang tidak melebihi anggaran tetapi yang lebih penting adalah tingkat kepuasan yang dirasakan oleh para pengguna jasa rumah sakit tersebut karena harapan dan kebutuhannya dapat tercapai.

Masih sering terjadi hingga saat ini organisasi layanan publik yang tidak berorientasi pada masyarakat pengguna (apa yang dibutuhkan oleh pengguna). Artinya, pengguna (user/customer) bukan menjadi perhatian utama, dengan pertimbangan bahwa mereka pasti membutuhkan jasa  atau layanan publik ini. Tanpa harus dengan pelayanan yang baik pun masyarakat pasti akan datang. Pola pikir (mind set) seperti ini sudah sepantasnya diubah. Kembali lagi kepada  pemerintah, terutama pemerintah daerah, untuk berperan dan mengambil bagian sebagian otorisasi organisasi layanan publik agar memperbaiki kualitas layanan dengan penetapan regulasi dan kebijakan yang lebih aspiratif terhadap kebutuhan publik. Kebijakan otonomi daerah seharusnya dapat digunakan wahana perbaikan kualitas layanan publik. Dengan pemerintahan yang terdesentralisasi tersebut pemerintah daerah menjadi lebih dekat dengan masyarakatnya dan lebih memahami aspirasi serta kebutuhannya. Bahkan kualitas layanan publik oleh Pemda sendiri juga harus ditingkatkan. Hubungan Pemda dengan masyarakat bukan berpola patron-client, tetapi menempatkan masyarakat sebagai customer yang harus dilayani apa yang menjadi kebutuhannya dengan baik. Pentingnya memperhatikan keinginan masyarakat ini semoga dapat menjadi renungan organisasi layanan publik seperti Pemda, PLN, PT Telkom, PDAM, lembaga pendidikan, kesehatan dan sebagainya agar tetap menjadi mitra yang baik bagi
Implementasi Manajemen Kualitas ISO 9001 Pada Pelayanan Publik
            Pelayanan yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila di dalam organisasi pelayanan terdapat sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan warga negara khususnya pengguna jasa pelayanan dan sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan warga negara. Fokus pada kepentingan warga negara merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh tiap-tiap unit pelayanan, dikarenakan keberadaan unit pelayanan publik bergantung pada ada tidaknya warga negara yang membutuhkan jasa pelayanan publik.
             Penilaian terhadap kualitas pelayanan dilakukan pada saat pemberian pelayanan, yaitu terjadinya kontak antara pelanggan dengan petugas pemberi pelayanan (service contact person). Kualitas pelayanan akan terlihat dari kesesuaian pelayanan yang diterima pelanggan dengan apa yang menjadi harapan dan keinginan pelanggan tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, praktik manajemen pemerintahan banyak menggunakan pendekatan-pendekatan manajemen yang telah terlebih dahulu diterapkan di sektor swasta, salah satunya adalah konsep manajemen kualitas. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam kaitan dengan manajemen kualitas adalah ISO.

Prinsip-prinsip Manajemen Kualitas ISO 9001 adalah :
1.      Fokus kepada pelanggan Pelaksanaan prinsip ini tergantung pada pelanggan organisasi, oleh sebag itulah maka organisasi harus memahami betul kebutuhan pelanggannya. Dengan demikian organisasi akan selalu tanggap akan kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
2.      Kepemimpinan Disadari atau tidak keterlibatan pimpinan dalam penerapan manajemen kualias sangat dibutuhkan, karena dengan demikian akan membawa dampak pada keterlibatan secara penuh dari setiap unsur organisasi.
3.      Keteribatan orang-orang secara penuh terhadap penerapan standard ini. Keterlibatan orang-orang secara penuh terhadap penerapan standar ini merupakan faktor penting dalam rangka memberikan komitmen bersama, menumbuhkembangkan inovasi dan kreatvitas, sehingga semuanya ikut bertanggungjawab terhadap masalah yang dihadapi beserta solusinya terhadap masalah yang mungkin timbul.
4.      Pendekatan Proses Dengan penerapan prinsip ini, hasil yang diinginkan akan dapat tercapai dengan lebih efisien, karena pendekatan ini mengintegrasikan sumber daya yang ada, seperti manusia, material, metode, mesin dan peralatan dalam rangka menghasilkan nilai tambah bagi pelanggan. Dengan demikian akan menghemat biaya dan waktu yang diperlukan.
5.      Perndekatan system terhadap manajemen Pendekatan ini akan memfokuskan usaha-usaha pada proses kunci yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada efektivitas dan efisiensi organisasi dalam mencapai tujuan.
6.      Peningkatan Terus Menerus Hal ini didefinisikan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi secara terus menerus, yang membutuhkan langkah konsolidasi yang progresif dan menanggapi perkembangan kebuthan dan ekspektasi pelanggan. Dengan demikian dapat mengetahui keunggulan kinerja melalui peningkatan kemampuan organisasi.
7.      Pendekatan Faktual dalam pembuatan keputusan. Dengan menggunakan data dan informasi yang faktual maka dapat menghilangkan akar penyebab masalah, sehingga dapat diselesaikan secara tepat sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi dan efektivitas implementasi sistem manajemen kualitas.
8.      Hubungan Pemasok yang saling Menguntungkan Dalam rangka menanggapi perubahan pasar dan mengoptimalkan biaya dan penggunaan sumber daya, hubungan antara organisasi dengan pelanggan atau stakeholder merupakan hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan, sehingga akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan nilai tambah masing-masing.
Ke 8 prinsip di atas merupakan alat atau tools untuk dapat mengoptimalkan pelayanan publik.

 

 

________________






No comments:

Post a Comment