Pengertian
Pelayanan
merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan
abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945
alenia keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap
masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public
services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Pelayanan
dan jasa publik bahkan dimulai sejak seseorang dalam kandungan ketika diperiksa
oleh dokter pemerintah atau dokter yang dididik di universitas negeri, mengurus
akta kelahiran, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan
makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi
pemerintah, memperoleh macam-macam perijinan yang berkaitan dengan dunia usaha
yang digelutinya hingga seseorang meninggal dan memerlukan surat pengantar dan
surat kematian untuk mendapatkan kapling di tempat pemakaman umum (TPU).
Luasnya ruang
lingkup pelayanan dan jasa publik cenderung sangat tergantung kepada ideologi
dan sistem ekonomi suatu negara. Negara-negara yang menyatakan diri sebagai
negara sosialis cenderung memiliki ruang lingkup pelayanan lebih luas
dibandingkan negara-negara kapitalis. Tetapi luasnya cakupan pelayanan dan jasa-jasa
publik tidak identik dengan kualitas pelayanan itu sendiri. Karena pelayanan
dan jasa publik merupakan suatu cara pengalokasian sumber daya melalui
mekanisme politik, bukannya lewat pasar, maka kualitas pelayanan itu sangat
tergantung kepada kualitas demokrasi. Konsekuensi dari hal ini adalah
negara-negara yang pilar-pilar demokrasinya tidak bekerja secara optimal tidak
memungkinkan pencapaian kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Bahkan
sebaliknya, pelayanan publik tanpa proses politik yang demokratis cenderung
membuka ruang bagi praktek-praktek korupsi.
Sebagai bagian
dari sistem kenegaraan dengan konstitusi yang pekat dengan norma keadilan,
ekonomi Indonesia dicirikan oleh ruang lingkup pelayanan publik yang sangat
luas. Sayangnya, pelayanan publik yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan
masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka
serta proses politik yang demokratis. Karena itu tidak mengherankan jika
pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang
berkaitan dengan pengadaan produk-produk pelayanan publik yang bersifat
kewajiban seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat Izin
Mengemudi (SIM), Pasport, dan lain-lain.
Kendati mungkin
fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis-jenis produk tadi hanya melibatkan
biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif
kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut
melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola korupsi dengan
menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki
dampak yang sangat luas.
Masalahnya
kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut? Teramat
sulit tentunya menjawab pertanyaan ini, kendati jawabannya merupakan bagian
terpenting dari strategi pemberantasan korupsi di sektor publik. Karena itu
kajian mengenai mekanisme pelayanan publik, berikut biaya-biaya transaksinya
menjadi elemen penting dari strategi pemberantasan korupsi.
Sejalan dengan itu, prinsip market oriented organisasi
pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
(aparatur) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga
prinsip catalitic government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah
harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan
pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam
konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator
dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah
perlu memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau
pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah
membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (helping people to
help themselves). Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan prinsip self-help
atau steering rather than rowing.
Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai institusi
yang khusus bertugas memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, pada
dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen
pemerintahan di daerah. Artinya, pembentukan organisasi ini secara empirik
telah memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum minimal
secara kuantitatif. Dalam konteks teori Reinventing Government,
pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) ini telah menghayati makna community
owned, mission driven, result oriented, costumer oriented, serta anticipatory
government.
Oleh karena itu, inovasi pembentukan Unit Pelayanan
Terpadu (UPT) ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam
praktek manajemen pemerintahan di daerah. Salah satu peluang yang dapat
dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam
beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik
dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan standar
dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan
yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang
lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan
cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan
operasionalnya, dengan tidak mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas
utamanya.
Selain itu, fenomena di atas juga menunjukkan bahwa
masyarakat yang belum terlayani masih lebih besar dibandingkan masyarakat yang
sudah terlayani. Kenyataan tersebut disebabkan selain karena faktor geografis
juga oleh lemahnya pelayanan oleh petugas baik secara administratif maupun
teknis. Untuk itu Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai organisasi pelaksana
harus meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, karena pada hakikatnya
kualitas ditentukan hanya oleh pelanggan (Coupet dalam Osborne dan Gaebler,
1992).
Kenyataan tersebut tidak saja disebabkan oleh berbagai
hambatan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan masih ada hal lain yang
menjadi penyebabnya, seperti dalam memberikan pelayanan publik tidak diikuti
oleh peningkatan kualitas birokrasi yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Kita semua
menyadari pelayanan publik selama ini bagaikan rimba raya bagi banyak orang. Amat
sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik.
Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian
ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan
pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan. Harga bisa
berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan
oleh para pengguna jasa. Baik harga ataupun waktu seringkali tidak bisa
terjangkau oleh masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian enggan berurusan
dengan birokrasi publik.
Dari uraian
diatas telah disebutkan bahwa keberadaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) secara
empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan
publik. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa selain pelayanan Kartu Tanda
Penduduk (KTP), fungsi Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sesungguhnya tidak lebih
sebagai front liner dalam penyelenggaraan pelayanan tertentu. Artinya,
Unit Pelayanan Terpadu (UPT) memfungsikan dirinya sebagai ‘loket’ penerima
permohonan yang akan dilanjutkan prosesnya kepada Dinas/Instansi fungsionalnya
masing-masing. Dalam kondisi demikian, maka pembentukan Unit Pelayanan Terpadu
(UPT) justru dapat dipersepsikan sebagai ‘penambahan rantai birokrasi’ dalam
pelayanan kepada masyarakat.
Untuk
menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau Unit Pelayanan Terpadu
(UPT) harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun
terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa pelayanan
dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik pula.
Contoh Studi
Kasus : Kualitas Pelayanan Publik Kabupaten Jember
Pada dasarnya
penelitian tentang kualitas pelayanan publik ini penting untuk dilakukan,
dikarenakan masyarakat sebagai customer service belum merasa puas baik
dari segi waktu, biaya dan mutu pelayanan yang selama ini diberikan. Untuk
itu penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik
terutama yang dilaksanakan di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember.
Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember ini termasuk
masih berusia muda juga, sampai saat ini pelaksanaannya masih berjalan kurang
lebih 4 (empat) tahun, awal pendiriannya pada tahun 1998 yang ditetapkan dengan
Keputusan Bupati Jember nomor 58 tahun 1998 tentang Pelaksanaan Unit Pelayanan
Terpadu (UPT) di Kabupaten Jember.
Namun, dalam perjalanannya masih banyak dijumpai
permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Telah
banyak cerita atau pengalaman dari sebagian atau bahkan hampir semua masyarakat
sebagai pengguna dari pelayanan publik yang mengeluhkan terhadap pelayanan yang
telah diberikan oleh Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember tersebut.
Melalui studi awal (Desember 2001) yang telah dilakukan, berikut ini disajikan
fenomenanya yang diperoleh melalui kumpulan kliping surat kabar tentang
pelayanan melalui Bagian Humas Pemda Kabupaten Jember.
·
Saya
dan keluarga bingung, stress dan luar biasa cemasnya. Sudah beberapa malam
sulit tidur...entah apa yang akan terjadi di kemudian hari. Sudah setahun lebih
bermukim di kota ini, kami belum mempunyai identitas penduduk sama sekali. Padahal
telah lama kami megajukan permohonan pengurusan identitas penduduk, nyatanya
sampai saat ini keinginan kami itu belum terwujud. Waktu dan dana yang tidak sedikit jumlahnya telah
dikeluarkan dan hingga kini kami menemui banyak kesulitan dalam pengurusan
segala sesuatu yang membutuhkan identitas penduduk (Lentera, Oktober 2000).
·
Saya mengurus IMB lewat kenalan saya yang
bekerja di Dinas Tata Kota, nyatanya sampai bertahun-tahun belum
selesai-selesai juga. Kalau saya tanya, bagaimana caranya supaya IMB cepat
selesai? Jawabnya, kalau orang Tata Kota masih diam, berarti belum selesai, ya
kita diamkan saja...ditunggu saja (Lentera, Maret 2001).
·
Saya
dan keluarga berencana akan mendirikan usaha kecil-kecilan di jaman yang
semakin susah ini, sekalian untuk tambahan penghasilan. Sudah saya urus
perijinanya dan untuk tempat usahanya. Tetapi, nyatanya hingga sekarang surat
ijin tersebut belum selesai-selesai juga (Lentera, Agustus 2001).
·
Saya paling malas kalau harus mengurus
surat-surat atau apapun yang ada hubungannya dengan Pemda. Pasti ujung-ujungnya
sudah lama ngurusnya, birokrasinya berbelit-belit, keluar uang banyak lagi.
Disuruh ngurus inilah...kurang itulah...apalah. Pusing!! (Lentera, Desember
2001).
Fenomena diatas menggambarkan betapa buruknya kualitas pelayanan
publik yang selama ini dinikmati oleh masyarakat. Sudah sejak lama masyarakat
mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dirasakannya amat jauh
dari harapannya. Tetapi sejauh ini ternyata tidak ada perbaikan yang berarti
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan, harapan masyarakat bahwa
pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik ternyata makin jauh dari kenyataan.
Data lain tentang kualitas pelayanan publik yang telah
diberikan tercermin dalam laporan banyaknya keluhan masyarakat yang disampaikan
melalui surat kabar maupun media elektronik seperti radio. Adapun datanya
sebagai berikut :
Tabel 1
Jenis dan Frekuensi Keluhan Masyarakat
Desember 2001
Masalah/Keluhan Masyarakat
|
Frekuensi
|
1.
Biaya mahal
2.
Waktu pengerjaan lama
3.
Terlalu berbelit-belit
4.
Selalu ada kesalahan
5.
Aparat tidak ramah
6. Ruangan
kotor
|
11
23
9
6
14
8
|
Sumber :
Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember
Dari data pada tabel 1 tersebut, masih terdapat adanya
keluhan atau ketidakpuasan masyarakat akan hasil pelayanan, jelas terlihat
bahwa keluhan masyarakat akan menunjukkan kualitas pelayanan yang diberikan.
Sebab, inti dari pelayanan publik mempunyai tujuan akhir yang bermuara kepada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan yang
diterima masyarakat.
Untuk
menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau Unit Pelayanan Terpadu
(UPT) Kabupaten Jember harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian
bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian
jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih
baik pula.
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap
warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus
dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai
sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan
kebutuhan dasar masyarakat. Dengan kata lain
seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau
perlu adanya suatu pelayanan.
Pemerintah mengandung arti suatu kelembagaan atau organisasi yang
menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan adalah proses
berlangsungnya kegiatan atau perbuatan pemerintah dalam mengatur kekuasaan
suatu negara. Penguasa dalam hal ini pemerintah yang menyelenggarakan
pemerintahan, melaksanakan penyelenggaraan kepentingan umum, yang dijalankan
oleh penguasa administrasi negara yang harus mempunyai wewenang.
Seiring dengan perkembangan, fungsi pemerintahan ikut berkembang, dahulu
fungsi pemerintah hanya membuat dan mempertahankan hukum, akan tetapi
pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi berfungsi juga untuk
merealisasikan kehendak negara dan menyelenggarakan kepentingan umum (public sevice). Perubahan
paradigma pemerintahan dari penguasa menjadi pelayanan, pada dasarnya
pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada
masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah itu masih
dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta
kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari
masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung
maupun melalui media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha
pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan
pelayanan publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata
tetapi juga oleh penyelenggara swasta.
Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai
tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang
pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah
lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta,
masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan
pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik
tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola
penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah
sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif
untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan
suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan
partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah
menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan
ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam proses
pengurusan identitas penduduk seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembuatan KTP
yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur
yang harus dilalui. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari rendahnya
kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses,
prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu,
biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli),
merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana
hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang
belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya
ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin
akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“,
dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila
ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan
yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam
kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa,
perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan,
peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan
merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering
atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering
kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering
birokrasi dalam pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai
konsumennya. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya
birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat
menerima setiap pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai
penyelenggara pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan
mempersulit.
Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan
publik, pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi
pelayanan publik dengan baik pula, sebaliknya pemerintahan yang buruk
mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak dapat terselenggara dengan baik.
Dalam hal ini juga pemerintah diperbolehkan untuk melakukan intervensi dalam
kehidupan masyarakat dengan konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat) melalui instrumen hukum yang mendukungnya, hal
ini boleh dilakukan agar dapat terlaksananya pelayanan publik dengan baik serta
terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai konsumen dalam pelayanan
publik welvaartstaat ini sangat berkaitan dengan kebijakan
pemerintah sebagai penyelenggara dalam pelayanan publik.
Sebelum lahirnya walvarestaat ada yang disebut atau dikenal dengan nachtwachkerstaat (negara
penjaga malam), dalam tipe negara ini, negara tidak dibenarkan untuk campur
tangan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat. Dikatakan sebagai nachtwachkerstaat karena negara
bertindak hanya sebagai penjaga malam saja, artinya negara hanya menjaga
keamanan semata-mata, negara baru bertindak apabila keamanan dan ketertiban
terganggu. Dalam hal ini negara tidak mencampuri segi-segi kehidupan
masyarakat, baik dalam segi ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya, sebab
dengan turut campurnya negara kedalam segi-segi kehidupan masyarakat dapat
mengakibatkan kurangnya kemerdekaan individu. Akan tetapi dikarenakan oleh
tuntutan masyarakat menghendaki faham ini tidak dipertahankan lagi, sehingga
negara terpaksa turut campur tangan dalam urusan kepentingan rakyat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rule government menjadi good governance, dalam paradigma
dari rule government
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik senantiasa
menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip
tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan
pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun
ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan
sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk
mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi
telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan semua
institusi governance
memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini merupakan landasan legitimasi
dalam sistem demokrasi, good
governance memiliki kerangka pemikiran yang sejalan dengan
demokrasi dimana pemerintahan dijalankan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah yang
demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam
pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik
merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good governance.
Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia telah
memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan
atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Pasal 3 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan
Nepotisme menyebutkan asas-asas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum,
Transparan, Daya Tanggap, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung Jawab,
Akuntabilitas dan Tidak Menyalahgunakan Kewenangan.
Asas ini dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya
administrasi, disamping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan
pemerintahan. Meskipun merupakan asas, tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa
hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat
dalam pasal undang-undang serta mempunyai sanksi tertentu.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) ini menjadi
landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas ini merupakan jembatan
antara norma hukum dan norma etika yang merupakan norma tidak tertulis,
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan suatu bagian yang pokok bagi pelaksanaan
atau realisasi Hukum Tata Pemerintahan atau Administrasi Negara dan merupakan suatu bagian yang
penting sekali bagi perwujudan pemerintahan negara dalam arti luas. Asas ini
digunakan oleh para aparatur penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menentukan
perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan pada
khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini diterapkan secara tidak langsung
sebagai salah satu dasar penilaian.
Asas ini merupakan kaidah hukum tidak tertulis sebagai pencerminan
norma-norma etis berpemerintahan yang wajib diperhatikan dan dipatuhi,
disamping mendasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis. Hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa beberapa asas diantaranya dapat disisipkan dalam berbagai
ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam
hal mengadili perkara gugatan terhadap pemerintah mengenai perbuatan melawan
hukum oleh penguasa. Asas ini juga dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang
dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
layak, yang dengan cara demikian penyelenggaran pemerintahan itu menjadi lebih
baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan,
tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi
pelayanan publik, pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan
publik dibatasi pada pengertian pelayanan publik merupakan segala bentuk
pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang
dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan
mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan
nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap
beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan
merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan
bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut
sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.
Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan
sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang
bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah
tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu
sumber korupsi dan sangat beralasan kalau World Bank,
dalam World Development Report
2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit
diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high
cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias
membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatkan kualitas dan
menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberi perlindungan bagi warga
negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam
penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah. Secara konstitusional, juga
merupakan kewajiban negara melayani warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dalam rangka pelayanan publik
Kualitas Pelayanan Publik
Mendefinisikan kualilas jasa tidak semudah memahami
kualitas produk atau barang. Kualilas
produk atau barang dapat terlihat langsung atau dapat dibedakan antara produk
satu dengan produk lainnya melalui penempilan fisik atau spesifikasi bahan
pembentuknya. Berbeda dengan jasa atau pelayanan yang tidak memiliki bentuk,
jasa baru dapat dirasakan setelah dikonsumsi.
Gronroos (dalam
Tjiptono 2000:60) mengatakan ada 3 komponen utama penentu kualitas jasa, yaitu:
Technical Quality, yaitu kualitas
yang berkaitan dengan kualitas output jasa yang dikonsumsi pelanggan. Technical quality meliputi: search quality, experience quality dan credence quality; Functional
Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas penyampaian jasa; Corporate Image, yaitu profil, reputasi,
citra umum, dan daya tarik suatu organisasi.
Lebih lanjut menurut Parasuraman (dalam Tjiptono
2000:60) mengatakan ada dua faktor utama yang,mempengaruhi kualitas jasa, yaitu
jasa yang diharapkan (Expected Service)
dan jasa yang dipersepsikan (Perceived Service). Pengendalian diantara dua hal
tersebut untuk menciptakan keunggulan pelayanan. Jasa dipersepsikan baik
apabila jasa yang dikonsumsi sesuai dengan yang diharapkan. Jasa dipersepsikan ideal apabila jasa yang di
konsumsi melebihi dari apa yang diharapkan. Sedangkan jasa dipersepsikan buruk
apabila jasa yang di konsumsi kurang dari yang diharapkan.
Berdasarkan
karakteristik diatas dapat dipahami bahwa jasa atau pelayanan sangat terkait
dengan partisipasi pelanggan. Kebutuhan dan keinginan pelanggan sebagai penentu
kualitas pelayanan jasa. Definisi kualitas jasa berfokus pada suatu upaya
pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian layanan
untuk mengimbangi harapan pelanggan. Sehingga kualitas jasa dapat diartikan
sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Wickot ( dalam Tjiptono
2000 : 59 ).
Produk
pelayanan di dalam sektor publik, pada dasarnya adalah tanggung jawab
unit kerja publik (pemerintah, eksekutif, policy
implementor) untuk menyediakan atau memenuhi. Dasar pelayanannya adalah
kebijakan publik, sebagaimana ditegaskan oleh Balk dalam (Kasim 1993:22) yang
mengatakan bahwa produktivitas dalam organisasi pemerintah juga harus diukur
dari segi kualitas hasil yang dipersembahkannya kepada masyarakat, yaitu sampai
seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan.
Bertolak dari pengertian bahwa kualitas pelayanan
merupakan suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan serta
ketepatan penyampaian layanan untuk mengimbangi harapan pelanggan, maka sangat
diperlukan suatu alat ukur dalam upaya untuk mengimbangi kesenjangan antara
pelayanan yang disediakan dengan pelayanan yang diinginkan.
Pendekatan yang digunakan untuk menilai kualitas
jasa adalah sebagai berikut: kualitas tehnik (outcome) yaitu kualitas hasil kerja penyampaian jasa itu sendiri,
dan kualitas pelayanan (proses) yaitu kualitas cara penyampaian jasa tersebut.
Di dalam suatu perencanaan jasa diperlukan suatu dimensi kualitas jasa.
Dimensi menentukan besamya dan luasnya pelayanan yang disediakan. Analisis
dimensi kualitas jasa yang disediakan sangat penting dalam perencanaan. Dimensi
juga sering digunakan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi pelayan yang
disediakan.
Menurut Zeithaml, Berry, Parasuraman, (1994), (dalam
Tjiptono, 2000: 70) ada lima dimensi pokok yang menentukan kualitas jasa, yaitu
Tangible, Reliable, Responsiveness, assurance, Empathi. Berikut
ini penjelasan dari masing dimensi:
- Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. ini meliputi fasilitas fisik (Gedung, Gudang, dan lainnya), teknologi (peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan), serta penampilan pegawainya.
- Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Harus sesuai dengan harapan pelanggan berarti kinerja yang tepat waktu, pelayanan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan dengan akurasi tinggi.
- Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.
- Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopan santunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari komponen: komunikasi (Communication), kredibilitas (Credibility), keamanan (Security), kompetensi (Competence), dan sopan santun (Courtesy).
- Empathy, atau empati yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
Menurut Zeithaml,
Parasuraman & Berry, (1988:28),
Reliability secara konsisten
merupakan dimensi paling kritis, kemudian tingkat ke-2 assurance, ke-3 oleh tangibles ke-4 oleh responsiveness, dan kadar kepentingan yang paling rendah adalah empathy.
Jadi pelayanan
publik yang berkualitas juga
dapat dilihat dari seberapa besar dimensi kualitas pelayanan, seperti reliability,
responsivity, assurance, tangibility dan emphaty dapat diwujudkan
oleh organisasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan publik, dengan
demikian, berupaya untuk mendekatkan jarak yang ada antara organisasi
pemerintah dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Memperbaiki Kualitas Pelayanan Publik Di Indonesia
Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama dari pemerintah atas jaminan (assurance) sosial ekonomi, jaminan keamanan yang memadai dan penegakan hukum yang berpijak pada keadilan sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah mereka penuhi. Pemerintah diharapkan bisa mendorong organisasi-organisasi penyedia layanan publik, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik, telepon, PDAM dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara layak. Pelayanan publik sebagaimana SK Men-PAN Nomor 81/1993 adalah segala bentuk kegiatan pelayanan publik (umum) yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kualitas pelayanan publik ini harus selalu dimonitor dari waktu ke waktu agar tercipta perbaikan secara terus menerus. Di satu sisi, informasi tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat harus selalu digali agar mengurangi gap (kesenjangan) antara harapan masyarakat dengan praktek penyelenggaraan layanan publik yang ada. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan prioritas kebutuhannya dan mengembangkan kapabilitasnya sehingga mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi.
Kebijakan dan regulasi yang
ditetapkan pemerintah pada satu bidang tertentu bisa berimbas pada bidang yang
lain. Pada saat pemerintah menaikkan harga BBM maka akan selalu diikuti
kenaikan harga pada bidang lain misalnya jasa transportasi. Demikian juga jika
tarip listrik dinaikkan maka secara tidak langsung juga mempengaruhi tarip di
bidang lainnya misalnya di bidang pendidikan dan kesehatan, yang harus
ditanggung masyarakat. Bahkan akibat struktur biaya yang berubah ini, kenaikan
harga bahan-bahan kebutuhan pokok pun tidak bisa dihindarkan. Jika memang
kenaikan harga-harga tersebut sifatnya tidak bisa dihindari (unavoidable)
maka semestinya diimbangi pula dengan peningkatan manfaat langsung atas layanan
organisasi publik. Peningkatan kualitas pelayanan publik dengan mengoptimalkan output
bagi kemanfaatan masyarakat seharusnya juga tidak bisa dihindari guna membantu
meringankan beban masyarakat.
Pemerintah mempunyai peran besar dalam pembuatan program pelayanan dan kebijakan publik. Berbagai regulasi dan peraturan yang menyangkut organisasi layanan publik sudah barang tentu mesti dirumuskan dengan mempertimbangkan kebutuhan publik. Tanggung jawab pemerintah tidak sekedar membuat dan menjalankan program yang bernilai ekonomi tetapi yang lebih penting justru identifikasi apakah program dan kebijakan tersebut sudah sesuai dengan keinginan publik dan tidak malah membatasi ruang gerak masyarakat untuk bisa berkreasi secara produktif. Tingkat kehidupan masyarakat secara individual diharapkan bisa bertambah baik dan maju atas kebijakan pemerintah yang ditetapkan.
Beberapa negara telah berusaha
memperbaiki kualitas pelayanan publik ini dalam rangka melindungi dan memenuhi
kebutuhan masyarakat. Pemerintahan di Inggris tahun 1998 berupaya
merumuskan Public Service Agreements sebagai bentuk kesepakatan baru
peningkatan pelayanan publik. Kesepakatan pelayanan publik ini dimaksudkan
untuk menghimpun berbagai perbaikan khusus dalam pelayanan sebagaimana
diharapkan masyarakat. Sementara di Australia, upaya memperbaiki kualitas
pelayanan publik ini dilakukan dengan monitoring kinerja semua organisasi
penyedia layanan publik secara berkelanjutan oleh Komisi Industri (The
Industry Commission) yang ditugaskan khusus Pemerintah. Jadi, pemerintah
mempunyai peranan cukup besar untuk untuk mewujudkan tercapainya perbaikan
kualitas layanan publik dengan efektif.
Upaya
memperbaiki kinerja organisasi layanan publik ini dilakukan secara terus
menerus sehingga bisa dilihat kemanfaatannya bagi masyarakat. Dengan demikian,
para klien dan pengguna jasa organisasi publik tersebut dapat menerima layanan
sesuai dengan kebutuhannya, lebih relevan dan efektif. Selain itu, para wajib
pajak menerima imbal balik yang sepadan dan efektif oleh karena mereka dapat
menikmati pelayanan dari lembaga layanan publik dengan memuaskan.
Upaya peningkatan kualitas pelayanan
publik dapat dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen kualitas jasa (service
quality management), yakni upaya meminimasi kesenjangan (gap) antara
tingkat layanan yang disediakan organisasi dengan harapan dan keinginan customer
(masyarakat pengguna). Dalam rangka memperbaiki kualitas layanan ini,
manajemen harus mampu menerapkan teknik-teknik manajemen yang berorientasi pada
kebutuhan customer. Pengukuran kinerja secara periodik sangat perlu
dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat kesenjangan yang terjadi.
Kinerja merupakan konsep yang multi
dimensional dan banyak dipengaruhi berbagai macam faktor. Ukuran kinerja
yang layak bagi organisasi layanan publik ini tidak sekedar bersifat finansial (input).
Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya karena outcome
(hasil) inilah variabel kinerja yang paling mewakili derivasi (penurunan)
dari misi organisasi sampai pada aktivitas operasional. Outcome dapat
digunakan untuk menilai aspek finansial dan non finansial sekaligus. Tujuan
strategis organisasi, kepuasan pelanggan dan kontribusi ekonomi secara
bersama-sama dapat diukur ketercapainnya dengan mengidentifikasi outcome-nya.
Keberhasilan sebuah rumah sakit bukan dilihat dari fasilitasnya (output)
tetapi dari kemanfaatan langsung atas keberadaan fasilitas tersebut bagi
masyarakat (outcome). Keberhasilan pembangunan gedung sekolah dasar
bukan dilihat dari banyaknya bangunan SD (yang dikenal dengan SD Inpres) di
berbagai wilayah pedesann (output) sebagaimana ditetapkan dalam program
pembangunan, namun dari seberapa besar nilai strategis gedung tersebut bagi
pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya, monitoring kinerja
perlu dilakukan sebagai alat untuk mengevaluasi apakah pelayanan publik dan
program-program organisasi penyedia layanan publik ini sudah sesuai dengan apa
yang dibutuhkan masyarakat. Monitoring kinerja dapat juga digunakan untuk
mengidentifikasi apakah tingkat kualitas pelayanan publik sudah lebih baik
daripada sebelumnya. Dengan dilakukan monitoring kinerja secara berkelanjutan,
sebenarnya akan membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi
layanan publik itu sendiri. Beberapa langkah penting monitoring kinerja
organisasi layanan publik antara lain: (1) Mengembangkan indikator kinerja yang
menggambarkan pencapaian tujuan organisasi sehingga ada kejelasan tentang apa
sebenarnya yang hendak dicapai organisasi dan bagaimana cara mengukur
pencapaian tujuan organisasi tersebut. (2) Memaparkan hasil pencapaian terhadap
tujuan dan program berdasarkan indikator kinerja di atas. (3) Berdasarkan
paparan hasil penilaian pencapaian tujuan dan program di atas dapat
diindentifikasi apakah organisasi sudah melakukan kegiatan secara efektif dan
efisien sebagai dasar untuk perbaikan kualitas pelayanan kepada masyarakat
umum.
Pertanyaan mendasar dalam proses
monitoring ini adalah bagaimana sumber daya digunakan dan apakah tindakan yang
diperlukan untuk menjamin tercapainya pengelolaan sumber daya secara ekonomi,
efisien dan efektif sudah dilakukan?. Jika organisasi layanan publik ini adalah
rumah sakit, maka monitoring kinerja berarti menjawab pertanyaan tentang apakah
rumah sakit tersebut sudah mengelola sumber daya secara optimal dan menyediakan
layanan terbaik untuk kepuasan para pengguna atau masyarakat. Adanya perbaikan
kualitas pelayanan dapat diidentifikasi dari menurunnya tingkat komplain dari
pasien atau pengguna, kepuasan pasien, meningkatnya jumlah pasien dan
meningkatnya kepercayaan masyarakat umum.
Organisasi layanan publik seperti
rumah sakit ini harus berorientasi pada outcome dan bukan sekedar input
dan output. Jadi, indikator kinerja atas kualitas pelayanan sebuah rumah
sakit bukan sekedar jumlah dokter per pasien, jumlah kamar untuk setiap kelas
atau jumlah pengeluaran yang tidak melebihi anggaran tetapi yang lebih penting
adalah tingkat kepuasan yang dirasakan oleh para pengguna jasa rumah sakit
tersebut karena harapan dan kebutuhannya dapat tercapai.
Masih sering terjadi hingga saat ini
organisasi layanan publik yang tidak berorientasi pada masyarakat pengguna (apa
yang dibutuhkan oleh pengguna). Artinya, pengguna (user/customer) bukan
menjadi perhatian utama, dengan pertimbangan bahwa mereka pasti membutuhkan
jasa atau layanan publik ini. Tanpa harus dengan pelayanan yang baik pun
masyarakat pasti akan datang. Pola pikir (mind set) seperti ini sudah
sepantasnya diubah. Kembali lagi kepada pemerintah, terutama pemerintah
daerah, untuk berperan dan mengambil bagian sebagian otorisasi organisasi
layanan publik agar memperbaiki kualitas layanan dengan penetapan regulasi dan
kebijakan yang lebih aspiratif terhadap kebutuhan publik. Kebijakan otonomi
daerah seharusnya dapat digunakan wahana perbaikan kualitas layanan publik.
Dengan pemerintahan yang terdesentralisasi tersebut pemerintah daerah menjadi
lebih dekat dengan masyarakatnya dan lebih memahami aspirasi serta
kebutuhannya. Bahkan kualitas layanan publik oleh Pemda sendiri juga harus
ditingkatkan. Hubungan Pemda dengan masyarakat bukan berpola patron-client,
tetapi menempatkan masyarakat sebagai customer yang harus dilayani apa
yang menjadi kebutuhannya dengan baik. Pentingnya memperhatikan keinginan
masyarakat ini semoga dapat menjadi renungan organisasi layanan publik seperti
Pemda, PLN, PT Telkom, PDAM, lembaga pendidikan, kesehatan dan sebagainya agar
tetap menjadi mitra yang baik bagi
Implementasi
Manajemen Kualitas ISO 9001 Pada Pelayanan Publik
Pelayanan
yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila di dalam organisasi pelayanan
terdapat sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan warga negara khususnya
pengguna jasa pelayanan dan sumber daya manusia yang berorientasi pada
kepentingan warga negara. Fokus pada kepentingan warga negara merupakan hal
yang mutlak dilakukan oleh tiap-tiap unit pelayanan, dikarenakan keberadaan
unit pelayanan publik bergantung pada ada tidaknya warga negara yang
membutuhkan jasa pelayanan publik.
Penilaian terhadap kualitas
pelayanan dilakukan pada saat pemberian pelayanan, yaitu terjadinya kontak
antara pelanggan dengan petugas pemberi pelayanan (service contact person).
Kualitas pelayanan akan terlihat dari kesesuaian pelayanan yang diterima
pelanggan dengan apa yang menjadi harapan dan keinginan pelanggan tersebut.
Dalam
perkembangan selanjutnya, praktik manajemen pemerintahan banyak menggunakan
pendekatan-pendekatan manajemen yang telah terlebih dahulu diterapkan di sektor
swasta, salah satunya adalah konsep manajemen kualitas. Salah satu pendekatan
yang digunakan dalam kaitan dengan manajemen kualitas adalah ISO.
Prinsip-prinsip Manajemen Kualitas ISO 9001 adalah :
1. Fokus
kepada pelanggan Pelaksanaan prinsip ini tergantung pada pelanggan organisasi,
oleh sebag itulah maka organisasi harus memahami betul kebutuhan pelanggannya.
Dengan demikian organisasi akan selalu tanggap akan kebutuhan dan kepuasan
pelanggan.
2. Kepemimpinan
Disadari atau tidak keterlibatan pimpinan dalam penerapan manajemen kualias
sangat dibutuhkan, karena dengan demikian akan membawa dampak pada keterlibatan
secara penuh dari setiap unsur organisasi.
3. Keteribatan
orang-orang secara penuh terhadap penerapan standard ini. Keterlibatan
orang-orang secara penuh terhadap penerapan standar ini merupakan faktor
penting dalam rangka memberikan komitmen bersama, menumbuhkembangkan inovasi
dan kreatvitas, sehingga semuanya ikut bertanggungjawab terhadap masalah yang
dihadapi beserta solusinya terhadap masalah yang mungkin timbul.
4. Pendekatan
Proses Dengan penerapan prinsip ini, hasil yang diinginkan akan dapat tercapai
dengan lebih efisien, karena pendekatan ini mengintegrasikan sumber daya yang
ada, seperti manusia, material, metode, mesin dan peralatan dalam rangka
menghasilkan nilai tambah bagi pelanggan. Dengan demikian akan menghemat biaya
dan waktu yang diperlukan.
5. Perndekatan
system terhadap manajemen Pendekatan ini akan memfokuskan usaha-usaha pada
proses kunci yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada efektivitas dan
efisiensi organisasi dalam mencapai tujuan.
6. Peningkatan
Terus Menerus Hal ini didefinisikan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya
peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi secara terus menerus, yang
membutuhkan langkah konsolidasi yang progresif dan menanggapi perkembangan
kebuthan dan ekspektasi pelanggan. Dengan demikian dapat mengetahui keunggulan
kinerja melalui peningkatan kemampuan organisasi.
7. Pendekatan
Faktual dalam pembuatan keputusan. Dengan menggunakan data dan informasi yang
faktual maka dapat menghilangkan akar penyebab masalah, sehingga dapat
diselesaikan secara tepat sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi dan
efektivitas implementasi sistem manajemen kualitas.
8. Hubungan
Pemasok yang saling Menguntungkan Dalam rangka menanggapi perubahan pasar dan
mengoptimalkan biaya dan penggunaan sumber daya, hubungan antara organisasi
dengan pelanggan atau stakeholder merupakan hubungan ketergantungan yang saling
menguntungkan, sehingga akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan
nilai tambah masing-masing.
Ke 8 prinsip di atas merupakan
alat atau tools untuk dapat mengoptimalkan pelayanan publik.
________________
No comments:
Post a Comment